Diplomasi Konfrontasi : Indonesia’s Foreign Policy Under Soekarno
tulisan lengkap dari freya-ariga/sunting seadanya herusb
Berbagai alasan melatarbelakangi konfrontasi yang dilakukan Indonesia terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia namun satu hal yang pasti adalah konfrontasi tersebut menjadi bukti bahwa Presiden Soekarno mulai mengembangkan ideologi revolusionernya yang secara terang-terangan mengorbankan politik luar negeri Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Indonesia mulai kehilangan arah terhadap konsep politik luar negerinya saat pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai wakil presiden Juli 1956. Hatta yang selama ini berperan sebagai buffer dari kebijakan-kebijakan Soekarno dengan tetap menjaganya selaras dengan politik luar negeri Indonesia bebas aktif, meninggalkan era Demokrasi Terpimpin dengan kecenderungan kebijakan yang mengarah pada dominasi kepentingan-kepentingan pribadi Soekarno.
Kemenangan yang dicapai Indonesia pada kasus pengembalian Irian Barat memperkuat keberhasilan ‘diplomasi konfrontasi’ yang dilakukan kala itu. Soekarno menjadi pecandu dari ‘romantika revolusi’ yang membawanya pada kebijakan-kebijakan konfrontasi berikutnya. Dapat dipahami bahwa penolakan Indonesia terhadap neokolonialisme yang dituduhkan terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia dan dalih menjaga stabilitas keamanan kawasan bertujuan untuk mewujudkan keinginan Indonesia untuk tetap menjadi negara yang paling berpengaruh di Asia Tenggara dengan menyingkirkan Malaysia yang dianggap dapat menjadi pesaing eksistensi Indonesia di mata dunia. Indonesia mulai tidak konsisten menjalankan politik luar negerinya terlihat dari pidato Soekarno 17 Agustus 1963 yang menggambarkan bahwa dunia yang terbagi antara New Emerging Forces (NEFOS) dan Old Established Forces (OLDEFOS) yang menurut pemikiran penulis merupakan awal keinginan Indonesia membentuk koalisi dan aliansi yang menguntungkan dirinya. Konsep awal politik luar negeri bebas aktif yang dicetuskan Hatta pada pidatonya tahun 1948 yang menegaskan bahwa Indonesia tidak berkeinginan untuk membentuk kekuatan ketiga mulai dilanggar dengan kebijakan-kebijakan konfrontasi yang mengesankan ‘keraksasaan’ Indonesia yang memberi kesempatan bagi pihak manapun yang mendukung maupun yang menjadi musuh. Perselisihan dengan India pada kasus Sondhi dan penyerangan Kedutaan India di Jakarta saat berlangsungnya Asian Games mengakibatkan semakin dinginnya hubungan India dan Indonesia dan tentunya mengakibatkan perbedaan wawasan antara Soekarno dan Nehru. Indonesia malah tampak semakin akrab dengan Cina ditengah konflik Cina-India dan pertikaian Cina-Uni Sovyet. Hal tersebut ditunjukkan dengan dukungan keuangan dari Cina saat Indonesia melangsungkan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade akibat skorsing yang diterima Indonesia pada pertandingan Olimpiade Tokyo tahun 1964.
Segitiga kekuasaan domestic yang terjadi antara Soekarno, PKI, dan tentara mengukuhkan pelaksanaan kebijakan konfrontasi yang sebenarnya merupakan ambisi Soekarno untuk menunjukkan eksistensi Indonesia di Asia Tenggara sekaligus mengamankan legitimasi keberlangsungan pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Tujuan Malaysia untuk mempersatukan Brunei, Sabah dan Serawak dalam Persekutuan Tanah Melayu dianggap Indonesia sebagai bentuk perluasan imperialisme Inggris di kawasan Asia Tenggara sekaligus menjadi penghalang bagi Indonesia untuk menjadi negara yang paling berpengaruh di Asia Tenggara.
Penulis berpendapat bahwa kebijakan konfrontasi merupakan implikasi dari politik luar negeri Indonesia dibawah Soekarno yang telah menyimpang dari substansi dasar poltik bebas aktif. Dalih untuk memerangi imperialisme dan kolonialisme membuat Indonesia terkesan mencari musuh baru dalam pembuktian keangkuhan diplomasi konfrontasi yang telah sukses mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda. Pecahnya pemberontakan di Brunei 8 Desember 1962 memperuncing perdebatan antara Tunku Abdul Rahman dan Dr. Subandrio mengenai tuduhan Indonesia sebagai dalang dibalik pemberontakan tersebut. Dr. Subandrio mengeluarkan pernyataan “Malaya telah secara terbuka menjadi antek imperialisme dan telah bertindak dengan rasa permusuhan terhadap Indonesia.”(1) Pernyataan tersebut diperkuat oleh oposisi Soekarno yang disampaikan secara eksplisit : “Mengapa kami menentangnya? Karena Malaysia merupakan manifestasi neokolonialisme. Kami tidak ingin mempunyai neokolonialisme di sekitar kami. Kami menganggap Malaysia sebagai pengepungan Republik Indonesia. Malaysia merupakan produk pikiran dan usaha neokolonialisme. Bersamaan dengan itu perhatikanlah kata-kata saya, Malaysia akan menjamin penyediaan timah bagi imperialis, dan Malaysia akan menjamin karet untuk imperialis, dan Malaysia akan menjamin minyak untuk imperialis. Untuk alasan ini, kita dengan tekad yang bulat menentang, tanpa syarat apapun, Malaysia." (2) Soekarno juga menegaskan bahwa Indonesia akan melaksanakan konfrontasi terhadap gagasan Malaysia dalam bidang politik dan ekonomi tetapi menghindarkan rujukan bidang militer. Pernyataan-pernyataan tersebut cukup menjelaskan latar belakang Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia.
Diplomasi konfrontasi yang telah dilakukan semenjak persoalan Irian Barat membuat perekonomian Indonesia terpuruk sampai pada level deficit anggaran yang terpaksa dicover oleh hutang-hutang luar negeri. Perekonomian yang jatuh mengakibatkan hiperinflasi dan kenaikan suku bunga yang mengakibatkan utang swasta sehingga pada akhirnya menumbangkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Kegagalan kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia dipicu oleh berbagai hal terutama dukungan Inggris dan Australia. Ketidakstabilan ekonomi dan politik dalam negeri turut melemahkan legitimasi pemerintahan Soekarno. Rakyat mulai bosan dengan kebijakan-kebijakan populis yang dibuat oleh Soekarno untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kondisi perekonomian yang kian terpuruk. Puncak kegagalan politik konfrontasi Indonesia terlihat saat Malaysia diresmikan menjadi anggota PBB tanggal 16 September 1963 dengan mengklaim bahwa keinginan yang cukup besar dari mayoritas rakyat Kalimantan Utara untuk bergabung dengan Federasi Malaysia. Protes keras dilakukan Indonesia terutama setelah Malaysia diangkat menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia memutuskan untuk keluar dari keanggotaan PBB tanggal 20 Januari 1965.
Fase baru dalam konfrontasi nampak saat Indonesia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Malaysia. Hal tersebut diikuti kebodohan Indonesia memutuskan ikatan-ikatan ekonominya antara lain dengan Singapura yang pada akhirnya membuat Indonesia kehilangan pasar bagi ekspornya. Keadaan tersebut diperparah dengan penolakan IMF untuk memberikan bantuan kepada anggaran Indonesia. Dapat dilihat juga adanya perbedaan perolehan dukungan pada saat konfrontasi Irian Barat dan konfrontasi Malaysia. Uni Sovyet terkesan enggan mendukung konfrontasi terhadap Malaysia dikarenakan berbagai sikap Indonesia yang merugikan kepentingan Uni Sovyet ditambah dengan hutang kredit yang belum dibayar.
Kondisi domestik dimana peran PKI yang dominan dalam mempengaruhi kebijakan Soekarno membuat Indonesia semakin ditinggalkan oleh negara-negara barat pendukungnya seperti Amerika Serikat. Soekarno tidak lagi percaya dengan konsep demokrasi, terlihat dari pidatonya yang berjudul “Kubur Partai-partai” yang dengan jelas menunjukkan pandangannya bahwa keberadaan partai-partai hanya merusak persatuan dan ancaman bagi pemerintahannya. Hal tersebut makin menguatkan peran PKI dalam pemerintahan dan membawa kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia ke kiri-kirian. Indonesia berusaha mengucilkan Malaysia dari dunia Internasional, namun ternyata usaha ini gagal. Kegagalan tersebut dipicu oleh kondisi domestic Indonesia yang menimbulkan keraguan diantara negara-negara anggota Non-Blok dan Asia Afrika. Mereka berpendapat bahwa Indonesia tidak lagi konsisten dengan anti-imperialismenya, karena imperialisme tidak hanya berasal dari negara-negara Barat saja. Kekhawatiran masyarakat atas kedekatan hubungan Cina dan Indonesia mempengaruhi pemikiran mereka mengenai konsistensi Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya yang bebas aktif.
Melalui pengaruhnya di KAA dan Non-Blok, Indonesia terkesan memaksakan konsep konfrontasinya terhadap Malaysia dengan harapan mendapatkan dukungan dari negara-negara tersebut. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, Indonesia justru semakin mengucilkan dirinya sendiri terlebih dengan kondisi dalam negerinya yang mengharuskan Indonesia untuk lebih focus pada masalah perekonomiannya dibandingkan masalah politiknya. Komunisme yang semakin mengakar dalam pemerintahan dalam negeri mendorong maraknya tindakan pengerusakan terhadap kantor-kantor konsuler Amerika dan beberapa fasilitas milik negara-negara barat.
Ditengah kondisinya yang makin terpuruk, Indonesia tetap angkuh bersikukuh untuk tidak mengakhiri konfliknya dengan Malaysia. Belakangan militer juga mulai meninggalkan kebijakan-kebijakan Soekarno. Hal tersebut terlihat dari fakta bahwa adanya keraguan serius terhadap manfaat konfrontasi yang berujung pada pembicaraan rahasia dengan wakil Malaysia di Bangkok dan Hongkong. (3) Kondisi yang seperti ini dimafaatkan PKI untuk melacarkan aksinya pada 1 Oktober 1965 untuk melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno. Aksi tersebut menewaskan enam orang jenderal angkatan darat yang paling senior serta menimbulkan gerakan-gerakan rakyat menentang pemerintahan Soekarno, hal tersebut diperburuk juga oleh berita memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Kemarahan rakyat mencapai puncaknya melalui gerakan-gerakan unjuk rasa bersama mahasiswa muslim untuk menentang komunisme. Untuk sementara masalah konfrontasi dengan Malaysia agak terlupakan oleh konflik-konflik yang terjadi dalam negeri.
Selama periode ini, kebijakan luar negeri tidak lagi melaksanakan fungsi konvensionalnya untuk memajukan kepentingan luar negeri suatu negara, melainkan telah menjadi sarana memajukan dan melindungi kepentingan politik domestic. Konfrontasi baru berakhir setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno diganti oleh Soeharto. Konfrontasi perlu segera diakhiri saat itu karena Indonesia memerlukan banyak bantuan hutang luar negeri untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya. Soeharto tidak lagi mengandalkan kebijakan-kebijakan yang bersifat populis seperti Soekarno, melainkan beliau memilih kebijakan teknokrat untuk mengatasi hiperinflasi yang ditinggalkan pemerintahan Soekarno.
Kegagalan kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia memberikan pelajaran penting bagi Indonesia untuk menjaga konsistensinya pada politik luar negeri yang bebas aktif seperti yang dicetuskan Hatta pertama kali dalam pidatonya tahun 1948. Dengan tidak membentuk karang baru di antara karang-karang yang lama akan membantu Indonesia menemukan bentuk politik luar negerinya kembali. Mengembalikan stabilitas ekonomi dan keamanan menjadi focus utama pemerintahan baru Soeharto. Indonesia kembali menjadi raksasa Asia Tenggara setelah berhasil menurunkan laju inflasinya dan menumpas komunisme dari pemerintahan. ASEAN merupakan langkah baru Indonesia untuk menemukan kembali politik luar negerinya yang sempat baur. Sementara isu neokolonialisme tidak lagi menjadi isu yang penting karena tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memerlukan sokongan dari negara-negara barat untuk menyelesaikan masalah perekonomian dan pertahanannya. Konsep NEFOS dan CONEFO yang diagung-agungkan Soekarno semakin tenggelam dalam keterpurukan kondisi politik dan ekonomi dalam negeri Indonesia. Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan omong kosongnya terhadap neokolonialisme tanpa melakukan apa-apa untuk menarik kembali simpati Amerika Serikat, Jepang, dan negara-nrgara barat lainnya untuk mengucurkan dana bagi pembangunan Indonesia.
Menjadi sebuah fase penting dalam sejarah Indonesia bahwa rakyat tidak hanya mengisi perutnya dengan obrolan panjang mengenai politik konfrontasi melainkan dengan sandang pangan yang sedikit terabaikan pada masa Demokrasi Terpimpin dan teralihkan pada anggaran militer untuk menjalankan politik konfrontasinya. Pemerintahan Soeharto tidak dapat dipungkiri membawa angin baru dalam menentukan arah politik luar negeri Indonesia selanjutnya. Berakhinya konfrontasi memungkinkan berbagai perubahan hubungan ekonomi. Indonesia mendapat kepercayaan kembali untuk berhutang dan makin bergantung dengan hutang-hutang luar negeri yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Menengok kondisi hubungan Indonesia dan Malaysia saat ini tidak jauh berbeda dengan masa konfrontasi dahulu. Hubungan tersebut masih diwarnai oleh persaingan pegaruh untuk menjadi ikon Asia Tenggara. Saat ini bukan hanya wilayah yang diperebutkan melainkan kebudayaan dan identitas sebuah bangsa. Kesadaran dari kita sebagai generasi penerus bangsa untuk menjaga apa yang telah kita miliki hasil dari perjuangan generasi terdahulu. Protes terhadap kebijakan dan keadaan tertentu tidak perlu dilakukan dengan politik-politik konfrontasi tetapi dapat dilakukan dengan menjaga kepala tetap dingin dan diplomasi yang mengarah pada perdamaian dalam kerangka win win solution.
Memikirkan hal ini aku jadi ingat, bagaimana pendidikan dasar dan menengah Indonesia? Maksudku apa gak kisruh, diejek dan dihinakan?
Mengapa orang2 pinter Indonesia di luar negeri gak mulih alias sekedar manjing di tumpah darah sendiri?
Mengapa orang2 pinter Indonesia di luar negeri gak mulih alias sekedar manjing di tumpah darah sendiri?
(1). Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia, 1983), hal. 116.(2). Modelski, New Emerging Forces, hal 74-75.(3). Sundhaussen, The Road to Power, hal 189.